spiethanderson –Menjelang pelaksanaan KTT Global Perempuan di Beijing bulan ini, perhatian dunia tertuju pada komitmen China terhadap kesetaraan gender. KTT ini menjadi momen penting karena menandai 30 tahun Konferensi Dunia Keempat tentang Perempuan yang juga digelar di Beijing pada 1995. Saat itu, negara-negara peserta sepakat memperjuangkan kesetaraan gender dan pengembangan perempuan di berbagai bidang kehidupan.
Namun, menjelang acara besar tersebut, sejumlah lembaga hak asasi manusia menyoroti situasi kebebasan perempuan di China. Dalam pernyataannya di Sidang ke-58 Dewan HAM PBB, International Service for Human Rights (ISHR) menilai bahwa pemerintah China justru memperketat kontrol terhadap aktivis perempuan.
“Baca juga : Batas Aman Pakai Obat Tetes Mata agar Tak Picu Iritasi”
ISHR melaporkan adanya praktik sensor, pengawasan, penahanan sewenang-wenang, hingga intimidasi hukum terhadap pembela hak asasi manusia perempuan. Menurut lembaga itu, langkah-langkah tersebut mencerminkan kontradiksi antara komitmen resmi Beijing dan kondisi nyata di lapangan.
Gerakan #MeToo di China juga menghadapi tekanan besar dari otoritas. Meskipun gerakan ini didukung luas oleh generasi muda, perjuangan melawan pelecehan seksual dan kekerasan berbasis gender kerap terhambat. Banyak kasus penyintas tidak mendapatkan keadilan karena pengaruh norma sosial patriarkal dan putusan pengadilan konservatif.
Beijing Menjadi Sorotan Global Terhadap Rekam Jejak China di Tengah Persiapan KTT Perempuan
Kasus penahanan aktivis seperti Huang Xueqin, jurnalis dan tokoh gerakan #MeToo yang divonis lima tahun penjara, menjadi sorotan tajam. Begitu pula He Fangmei, advokat keamanan vaksin yang dijatuhi hukuman lima tahun enam bulan. Menurut laporan The Hong Kong Post pada Kamis (9/10/2025), kedua kasus ini mencerminkan penyempitan ruang bagi aktivis perempuan di China.
Kritik juga datang dari Komite PBB untuk Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW). Dalam laporan 2023, CEDAW menyoroti rendahnya keterwakilan perempuan dalam lembaga legislatif dan eksekutif China. Hanya 26,54 persen anggota Kongres Rakyat Nasional ke-14 adalah perempuan, dan sejak Oktober 2022 tidak ada perempuan di level eksekutif tertinggi negara itu.
“Baca Juga: Baru Bebas Bersyarat, Pria Cakung Kembali Cabuli Bocah”
Selain itu, kebijakan demografi China turut menuai kritik. Sejak diberlakukannya kebijakan satu anak pada 1980-an hingga berubah menjadi tiga anak pada 2020, banyak pengamat menilai kebijakan tersebut membatasi hak reproduksi perempuan. Penurunan angka kelahiran dan pernikahan di kalangan muda menunjukkan pergeseran pandangan perempuan terhadap peran tradisional keluarga.
Rekam jejak pemerintah dalam menangani kekerasan seksual juga masih bermasalah. Pada 2015, lima aktivis perempuan yang dikenal sebagai “Feminist Five” ditahan karena merencanakan kampanye kesadaran pelecehan seksual di transportasi umum. Studi dari City University of Hong Kong menyebut lebih dari 80 persen perempuan di Tiongkok pernah mengalami pelecehan di transportasi publik.
Sebagai tuan rumah KTT Global Perempuan, Beijing kini dihadapkan pada tuntutan besar untuk menunjukkan komitmen nyata terhadap kesetaraan gender. Pengamat menilai, tanpa langkah konkret memperkuat perlindungan hukum dan kebebasan berekspresi bagi perempuan, janji politik yang diucapkan tiga dekade lalu akan sulit diwujudkan.




Leave a Reply